Melihat anak-anak lusuh dengan baju dan wajah penuh debu, di tiap perempatan jalan atau dekat lampu-lampu merah, mungkin bukan lagi pemandangan yang aneh. Terlalu umum malah. Problematika setiap kota, orang bilang. Seperti halnya kemacetan di Jakarta, pemandangan seperti itu juga sudah jadi rutinitas sehari-hari untuk dilihat.
Setiap hari saat pulang kerja, kulihat anak-anak lusuh berebutan untuk bisa memasuki angkot yang lewat. Yang langsung menyanyi dengan alat musik yang mereka buat sendiri, entah itu dari tutup botol, botol yang diisi butiran pasir atau beras, atau hanya bertepuk tangan saja. Suara mereka jauh dari merdu, beberapa malah seperti asal bersuara saja. Sambil bernyanyi, mereka sodorkan amplop-amplop putih dengan tulisan “Bantulah kami, untuk biaya sekolah” ke setiap penumpang, tulisan yang sudah umum ada di amplop-amplop seperti itu. Beberapa penumpang ada yang serta merta mengisi amplop, sementara beberapa yang lain dengan jengah mengembalikan amplop itu tanpa melirik sedikit pun. Sesuatu yang lumrah juga, tokh tak ada paksaan untuk memberi...
Sewaktu kuliah di Semarang dulu, aku pernah ikut berkecimpung dalam pendampingan anak jalanan. Bukan organisasi resmi sebenarnya, hanya sekumpulan orang yang peduli dengan anak-anak jalanan, khususnya anak jalanan yang di bawah umur. Mungkin kami tak bisa memberi banyak untuk mereka; hanya menyediakan telinga saat mereka ingin mengadu dan berkeluh kesah dan mengingatkan adab sopan santun yang mungkin dulu pernah mereka terima agar tak hilang ditelan debu jalanan, mengarahkan mereka ke cara hidup yang lebih baik, atau mendampingi mereka saat mereka mendapatkan kesulitan, juga memberi pengertian untuk saling melindungi teman, terutama kepada anak-anak yang lelaki untuk melindungi rekan-rekan perempuannya yang rentan terhadap bahaya hidup di jalan.
Miris rasanya, melihat bocah-bocah kecil yang harus hidup di jalan, bergulat dengan kehidupan jalanan yang keras, yang hanya kenal satu hukum; Hukum Rimba – siapa yang kuat dia yang menang.
Sebagian besar anak-anak jalanan itu mendapatkan uang dari mengamen. Namun ada bocah-bocah perempuan yang sudah berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Ciblek, istilahnya di Semarang. Kami tak bisa begitu saja membuat mereka berhenti jadi ciblek, karena kami sendiri tak bisa memberikan pekerjaan yang lebih baik, yang kami punya hanya saran-saran.
Setiap saat bocah-bocah perempuan yang tidak berprofesi sebagai PSK harus menghadapi ancaman pelecehan seksual atau bahkan pemerkosaan. Yang lelaki juga tak luput dari ancaman kekerasan seksual. Kalau mereka salah daerah kerja, bisa-bisa mereka disodomi atau dianiaya oleh anak-anak jalanan yang berkuasa di daerah itu.
Sering kali kami harus lari tunggang langgang ke rumah sakit, karena anak-anak yang kami dampingi babak belur dipukuli atau ditusuk anak lain. Pernah suatu kali, kami bergantian menunggui salah seorang bocah perempuan yang melahirkan prematur, tanpa ia tahu siapa ayah anaknya itu. Kami juga yang memberikan nama buat anaknya itu “Bning”, sementara sang ibu muda masih terbaring shock....
Tidak semua anak-anak itu berasal dari keluarga yang tidak mampu. Meski memang sebagian besar dari keluarga yang miskin sekali. Sebut saja Doyok, seorang anak jalanan yang berusia sekitar 14 tahun. Penampilannya memang lebih bersih dari anak-anak yang lain. Tapi tentu saja, tak akan ada yang menyangka dia anak dari keluarga kaya. Pernah suatu kali, seorang perempuan muda datang ke “rumah singgah” kami - sebuah kontrakan rumah murah yang kami sedia untuk anak-anak jalanan itu singgah dan berlindung. Perempuan muda itu memaksa doyok untuk kembali ke rumah, tapi doyok bersikeras untuk tinggal dengan teman-temannya, yang dia anggap lebih peduli padanya ketimbang keluarganya. Perempuan muda itu lalu pergi dengan sedan mewahnya dengan wajah kesal. Baru kutahu kemudian, bahwa itu adalah kakak perempuan doyok yang kuliah di universitas cukup ternama di Semarang.
Karena kami hanya sekumpulan orang yang peduli, bukan organisasi resmi, seringkali kami tak mampu melindungi atau membela hak-hak anak-anak jalanan itu. Dari situ lalu kami mulai merintis lembaga yang kami harap nantinya mampu berbuat sesuatu.
Sayang, dukungan justru datang dari organisasi-organisasi nasrani. Mungkin karena orang-orang yang peduli waktu itu juga lebih banyak yang beragama nasrani. Dulu aku sama sekali tak sempat berpikir apa efeknya. Waktu itu, yang ada dalam pikiran hanyalah bagaimana membantu anak-anak itu.
Baru kusadari kemudian, setelah satu setengah tahun aku undur diri dari kelompok karena memperjuangkan studiku, bahwa aku (sebagian kecil yang muslim) telah membantu mereka keluar dari mulut singa, untuk kemudian mengulurkan mereka ke mulut buaya. Maafkan aku, anak-anak langit...
Yang kuharap sekarang ini adalah, aku bisa berbuat sesuatu sekali lagi untuk mereka.
Namun, aku tak akan mungkin melakukannya sendiri....
No comments:
Post a Comment